Potret Budaya Papua yang Belum Luntur di Suku Kamoro
-
Alam dan adat istiadat budaya Papua memang sangat menarik. Salah satunya budaya Suku Kamoro di Mimika, Papua salah satunya. Meski zaman sudah modern, suku ini tetap menjunjung tinggi budaya adat leluhur.
Menjalani tiga tahun hidup di kota yang tersohor dengan hasil mineral tembaganya, adalah rangkaian perjalanan hidup yang berkesan. Tembagapura, salah satu kota kecil di Mimika, Papua memiliki pemandangan alam yang sangat menakjubkan.
Ketika melanjutkan Sekolah Menengah Atas, orangtua saya dipindahtugaskan dari Tembagapura ke Kuala Kencana. Kondisi ini tentu memudahkan akses menuju Timika yang merupakan ibukota Kabupaten Mimika. Kabupaten ini berslogan 'Eme Neme Yauware' atau berarti bersatu, bersaudara kita membangun.
Kabupaten ini juga memiliki 12 distrik atau kecamatan, seperti Mimika Barat, Mimika Barat Jauh, Mimika Barat Tengah, Mimika Timur (Mapurujaya), Mimika Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika Baru, Kuala Kencana, Tembagapura, Agimuga, Jila dan Jita. Kabupaten Mimika pun didiami oleh dua suku besar, yaitu Amungme yang mendiami wilayah pegunungan dan Kamoro di wilayah pantai.
Suku Kamoro adalah suku terbesar yang mendiami wilayah pesisir Kabupaten Mimika. Dari segi bahasa, mereka bersaudara dengan suku Asmat yang sangat terkenal karena seni ukirnya. Suku Kamoro masih menjunjung tinggi adat serta kebudayaan mereka di zaman modern ini.
Ada beberapa upacara adat yang sering dilakukan oleh Suku Kamoro di antaranya Upacara KARAPAO. Upacara ini digelar bagi anak laki-laki yang sudah dianggap beranjak dewasa. Tak hanya itu, masih ada Upacara Penobatan Kepala Suku, serta Upacara Pembuatan Mbitoro, yakni patung leluhur Suku Kamoro.
Pagi itu akan digelar festival budaya, dalam rangka peresmian pembangunan kantor Distrik Mapurujaya. Acara tersebut bekerjasama dengan pemerintah kabupaten. Kebetulan ibu saya berkesempatan menjadi panitia.
Masyarakat beriringan mendatangi lokasi acara di halaman depan kantor Distrik Mapurujaya. Tampak dari kejauhan sang tetua adat dibopong di atas kayu dan diarak dengan sangat meriah.
Dalam balutan pakaian adat rumbai-rumbai yang disebut tapena dan wajahnya telah dihias khas para penari. Baik pria maupun wanita melakukan atraksi dengan penuh semangat.
Senyum hangat dan ketulusan terpancar dari wajah mereka. Penonton pun ikut bersorak-sorai memeriahkan rangkaian acara. Festival ini saya maknai sebagai perayaan yang mengajarkan untuk berbagi dan melebur bersama seluruh lapisan masyarakat.
Sebuah budaya yang harus terus dilestarikan. Suku Kamoro menyadari benar mengenai hal ini, meskipun zaman sudah modern budaya leluhur tak boleh terlupakan.
Acara telah usai. Kantor kecamatan yang baru diharapkan dapat memenuhi dan menjembatani keperluan kependudukan masyarakat setempat. Mereka pulang dengan senyum mengembang dan perasaan gembira. Papua memang begitu menakjubkan.
"Pace (sebutan untuk pria), Mace (sebutan untuk wanita), Eme Neme Yauware yang artinya BERSATU,BERSAUDARA KITA MEMBANGUN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar